Minggu, 21 September 2014

Metode Baru Berburu Exo Planet

Ilmuwan mengembangkan metode baru untuk mengamati Exo Planet di sistem tata surya lain. Teknik termutakhir itu diyakini bisa menjaring planet-planet bermassa kecil serupa bumi.
Exo Planet sejauh ini lebih sering memicu kerutan di dahi ilmuwan ketimbang menciptakan sensasi. Bumi kedua yang selama ini diincar belum ditemukan. Sebaliknya astronom mengungkap dunia ajaib yang lebih mirip neraka, panas dan tidak ramah bagi kehidupan.
Untuk mengakalinya dunia astronomi mengembangkan metode baru untuk membedakan massa sebuah expo planet. Metode tersebut menggunakan orbit benda langit bersangkutan. Jika planet itu memiliki atmosfer, maka ia akan memfilter cahaya induk tatasuryanya untuk sesaat ketika mengorbit.

Dari data yang didapat ilmuwan mengklaim bisa menentukan radius dan campuran gas yang membentuk atmosfer planet, serta kepadatan molekul di dalam atmosfer dan temperaturnya. Berdasarkan informasi tersebut bisa ditentukan massa planet yang bersangkutan dengan lebih akurat.

Mengamati planet kecil
Sejauh ini ilmuwan menggunakan metode yang disebut Spektroskopi Doppler untuk mengukur massa exo planet. Metode ini mengukur gerakan bintang induk yang bereaksi terhadap gaya gravitasi planet yang mengitarinya. Dalam kasus semacam itu, panjang gelombang cahaya yang terpancar dari bintang tersebut akan berubah secara berkala.

Lebih dari setengah Exo Planet yang dikenal saat ini ditemukan melalui metode Spektroskopi Doppler. Metode lain yang digunakan adalah mengukur perubahan pancaran cahaya ketika sebuah planet mengorbit induk tata suryanya.


Exo Planet GJ 1214b
Perkaranya metode semacam itu lebih sering menjaring planet-planet raksasa yang serupa atau melebihi massa Jupiter atau Saturnus. Ilmuwan selama ini kesulitan menemukan planet bermassa kecil seperti bumi, atau jika induk tata suryanya memancarkan cahaya redup.

Fase baru pengamatan Exo Planet
Metode baru yang disebut Spektroskopi Massa itu bisa melengkapi metode-metode pengamatan Exo Planet yang selama ini digunakan ilmuwan. Metode baru ini menurut Sara Seager, Professor Astonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), cocok untuk mengamati planet gas atau planet yang memiliki atmosfer tipis seperti Bumi.
Sang professor berharap, metode baru tersebut bisa mengawali fase baru pengamatan sistem tata surya di luar angkasa. Menurutnya, fokus penelitian dalam beberapa tahun ke depan adalah "mengamati sebagian obyek langit yang paling berpotensi menampung kehidupan". Dan massa sebuah planet berperan besar untuk menemukan Exo Planet serupa bumi.

Kendati begitu Seager mengatakan, planet batuan cuma bisa diamati dengan lebih akurat melalui teleskop masa depan. Salah satunya adalah teleskop luar angkasa James Webb yang direncanakan akan mulai beroperasi tahun 2018

Astronom Pelajari Selimut Raksasa Pada Galaksi Tetangga

Halo alias kumpulan gas panas yang menyelimuti galaksi Centaurus A ternyata berbeda dengan yang dimiliki galaksi Bimasakti. Temuan itu melucuti presepsi umum ilmuwan mengenai pembentukan galaksi dan bintang.
Galaksi eliptis Centaurus A ternyata memiliki halo gas yang lebih kaya akan elemen berat dari yang diduga sebelumnya. Penemuan tersebut dilakukan oleh peneliti NASA dan Badan Antariksa Eropa (ESA) dengan menggunakan teleskop antariksa, Hubble.

Berjarak sekitar 12 juta tahun cahaya, Centaurus A sebenarnya termasuk galaksi yang berada paling dekat dengan galaksi Bimasakti. Untuk membuat citra Centaurus A, Hubble memetakan wilayah langit seluas 450.000 tahun cahaya dalam panjang, dan 295.000 tahun cahaya dalam lebar.

"Jarak ini sangat besar terutama jika mengingat elemen yang bisa dilihat di Galaksi Bimasakti cuma meliputi kawasan seluas 120.000 dalam diameter," tulis ESA dalam pernyatannya.

Halo, Selimut Galaksi

Dengan data sebanyak itu pun, Hubble belum tuntas memetakan wilayah Halo milik Centaurus A. Halo adalah kumpulan gas raksasa yang panas dan meluas selama ratusan ribu tahun cahaya. Gas tersebut menyelimuti sebuah galaksi seperti atmosfer mengelilingi bumi.

Bimasakti pun memiliki Halo yang massanya lebih besar ketimbang semua benda langit yang berada dalam galaksi.

Hingga kini astronom belum mengetahui banyak mengenai Halo lantaran wujudnya yang sangat besar dan sulit dideteksi. Kini astronom mengungkap, Halo yang menyelimuti Centaurus A memiliki bentuk unik dan meluas lebih besar dari yang diperkirakan selama ini.

Elemen Berat pada Bintang
"Kami menemukan lebih banyak bintang tersebar di satu arah ketimbang sebaliknya dan membuat bentuk Halo agar miring. Ini tidak kami perkirakan sebelumnya," kata salah seorang peneliti, Marina Rejkuba dari Observasi Selatan Eropa di Garching, Jerman.

"Mendeteksi sebagian dari Halo milik sebuah galaksi memberikan kami pengetahuan mendalam mengenai proses pembentukan galaksi, evolusi dan komposisinya."

Menggunakan data yang dikumpulkan oleh Hubble, para peneliti juga menemukan elemen-elemen yang lebih berat ketimbang hidrogen dan hellium terkandung dalam gas yang membentuk bintang di dalam selimut Halo.

Bintang-bintang di dalam Halo yang meliputi Bimasakti dan galaksi spiral lain biasanya tidak banyak mengandung elemen berat.

Astronom Ungkap Misteri Bintang Magnetar

Magnetar adalah benda langit yang memiliki medan magnet terkuat di jagad raya. Kini ilmuwan Eropa berhasil memastikan kebenaran teori pembentukan obyek misterius tersebut.
Astronom Eropa kemungkinan besar berhasil mengungkap misteri di balik pembentukan Magnetar, sejenis bintang Netron yang sangat padat dan terbentuk dari sisa-sisa ledakan bintang raksasa.

Berbekal citra yang dibuat menggunakan Very Large Telescope milik Observatorium Selatan Eropa (ESO), ilmuwan menemukan bintang pendamping obyek misterius tersebut. Penemuan itu bisa berarti "bahwa sistem bintang biner adalah resep fundamental bagi terbentuknya Magnetar," kata Simon Clark dari British Open University di jurnal ilmiah "Astronomy & Astrophysics."

Magnetar adalah benda langit yang memiliki medan magnet terkuat di alam semesta. Ia terbentuk ketika bintang bermassa besar meledak. Jika bintang raksasa mengalami keruntuhan dalam ledakan supernova, maka ia akan dilahirkan kembali sebagai lubang hitam atau bintang Netron.

Sesendok Teh Seberat Satu Miliar Ton
Magnetar adalah bentuk paling aneh dari bintang Netron. Seperti yang lain, Magnetar berdiameter kecil, namun sangat padat. Satu sendok teh berisikan materi dari bintang Netron bisa memiliki massa seberat satu miliar ton. Selain medan magnetnya yang tidak tertandingi, Magnetar juga secara rutin menyemburkan radiasi sinar Gamma.
Selama ini ilmuwan berpendapat, bintang bermassa besar cuma akan dilahirkan kembali sebagai lubang hitam. Namun keberadaan Magnetar menguapkan pandangan tersebut
Menurut ESO, cuma ada belasan Magnetar di antara miliaran bintang di galaksi Bima Sakti. Tim astronom asal Eropa mempelajari benda langit ajaib itu di rasi bintang Ara (Altar) yang terletak 16.000 tahun cahaya dari bumi. Sejak lama ilmuwan meyakini, Magnetar bernomer katalog CXOU J1647-45 itu tercipta dari ledakan bintang yang memiliki 40 kali lipat massa Matahari.

Konfirmasi Keabsahan Teori Magnetar
"Tapi justru disitulah masalahnya. Karena bintang bermassa sebesar itu diyakini akan dilahirkan kembali sebagai lubang hitam dan bukan menjadi bintang Netron, kalau mereka meledak," ujar Clark. "Kami tidak bisa mengerti kenapa bintang sebesar itu lantas menjadi Magnetar."
Ilmuwan lalu meracik teori baru untuk menjawab misteri tersebut. Mereka meyakini, Magnetar terbentuk dari gaya yang diakibatkan oleh dua bintang raksasa yang saling mengorbit dalam sistem biner. Sistem semacam itu memiliki orbit yang dekat, sedekat orbit bumi dan Matahari.
Bintang kedua dari sistem biner itulah yang kini ditemukan oleh ilmuwan ESO. Kendati orbitnya telah terlempar ketika ledakan supernova, bintang pendamping itu masih bisa dikenali berasal dari sistem biner.

Galaksi Mini Menyimpan Lubang Hitam Raksasa

Melalui citra langit yang ditangkap oleh Teleskop Hubble, ilmuwan menemukan lubang hitam raksasa yang bersembunyi di jantung sebuah galaksi kecil. Fenomena ini belum pernah ditemukan sebelumnya.
Sekelompok astronom menemukan lubang hitam "raksasa" yang mengendap di jantung sebuah galaksi katai. Penemuan tersebut tergolong mengejutkan karena belum pernah sebelumnya lubang hitam raksasa ditemukan di galaksi mini.

Kendati kecil, galaksi M60-UCD1, yang berjarak sekitar 50 juta tahun cahaya dari Bumi itu luar biasa padat. Sekitar 140 juta bintang memenuhi ruang yang cuma selebar 300 tahun cahaya, sekitar seperlimaratus diameter Galaksi Bimasakti.

Lubang hitam adalah fenomena unik di luar angkasa. Gaya gravitasi yang ditimbulkannya sedemikian besar sehingga partikel cahaya pun tidak bisa lolos dari cengkraman lubang hitam. Lubang hitam raksasa yang memiliki massa ratusan hingga miliaran massa matahari, biasanya ditemukan di jantung galaksi besar, termasuk Bimasakti.

Fenomena Langka
Astronom dikejutkan ketika hasil hitungan menunjukkan lubang hitam di jantung M60-UCD1 mewakili 15% dari massa keseluruhan galaksi. Diyakini bermassakan 20 juta lebih besar ketimbang matahari, lubang hitam yang baru ditemukan itu lima kali lipat lebih besar ketimbang lubang hitam di jantung Galaksi Bimasakti.

Satu-satunya penjelasan ilmuwan buat fenomena unik tersebut adalah bahwa galaksi M60-UCD1 dulunya merupakan galaksi raksasa yang kemudian terbagi dua dan menyisakan sebagian massanya bersama lubang hitam raksasa.

Tapi jika teori tersebut terbukti salah, maka galaksi katai memang lazim menampung lubang hitam raksasa di jantungnya. Itu artinya ada lebih banyak lubang hitam di luar angkasa ketimbang yang diperkirakan sebelumnya.

Medan Magnet Bumi Melemah

Tiga satelit Badan Antariksa Eropa, mengungkap medan magnet bumi yang terus melemah. Fenomena itu menandai pergeseran kutub yang sedang terjadi dan akan berlangsung hingga 2019.
Sampel bebatuan yang dikumpulkan dari dasar Samudera Atlantik mengungkap fenomena alam raksasa yang akan dialami Bumi. Menurut ilmuwan, sampel tersebut membuktikan bahwa medan magnet bumi bertukar antara utara dan selatan setiap 250.000 tahun.

Perubahan medan magnet terakhir dialami 780.000 tahun silam, yang disebut dengan Pertukaran Brunhes-Matuyama. Menurut ilmuwan, perubahan selanjutnya akan terjadi dalam beberapa ribu tahun kedepan, tergolong cepat dalam ranah geologi.

Temuan tersebut didapat melalui citra beresolusi tinggi yang dibuat oleh tiga satelit milik Badan Antariksa Eropa (ESA), atau yang sering disebut sebagai konstelasi Swarm. Diluncurkan 2013 silam, Swarm mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan medan magnet bumi.

Medan Magnet Bumi Melemah
Ketiga satelit serupa itu, Alpha, Bravo dan Charlie, memiliki Magnetometer yang bisa mencatat arah dan kekuatan medan magnet. Alat pengukur magnet itu dipasang pada tongkat sepanjang empat meter, agar meminimalisir gangguan dari perlengkapan lain di badan satelit.

Observasi dan penelitian selama enam bulan memastikan tren umum bahwa medan magnet Bumi mulai melemah. Fenomena ini terutama menguat di belahan langit bagian barat. Sebaliknya di selatan Samudera Hindia, medan magnet bumi menguat sejak Januari.

Medan magnet berperan besar menaungi kehidupan di Bumi. Ia melindungi atomosfer Bumi dari hujan partikel bermuatan listrik yang berasal dari Matahari. Partikel tersebut bisa melenyapkan atmosfer sebuah planet, seperi yang terjadi pada planet Mars.

Kutub Bergerak
Medan magnet bumi tercipta ketika logam cair yang mengitari inti bumi berputar dan membentuk arus konveksi yang bergerak sekitar sepuluh kilometer per tahun.

Pertukaran kutub berlangsung di dalam perut bumi. Selama beberapa bulan kedepan, ilmuwan ESA akan menganalisa data yang dikumpulkan untuk mengungkap kontribusi magnetik dari sumber lain, seperti mantel dan kerak bumi, samudera, ionosfer serta magnetosfer.

Saat ini kutub selatan di sekitar Kanada bergerak setiap hari sejauh 90 meter. Menurut ilmuwan, pergeseran itu akan terus berlangsung ke arah utara hingga tahun 2019. Analisa teranyar juga memastikan pergeseran medan magnet di kutub utara ke arah Siberia.